Hidup Di Batam

by - May 25, 2020

Hidup Di Perantauan


Sebagai anak sulung yang lahir dan besar di Bandung, saya belum pernah merasakan merantau ke luar Pulau Jawa. Bapak Ibu saya memang asli Jawa tengah, akan tetapi mereka merantau sejak menikah dan membuat saya terbiasa hidup di Jawa Barat.

Tentu bukan hal mudah buat saya memutuskan untuk ikut suami hijrah ke kota Batam, Kepulauan Riau. Rasa cemas, khawatir dan pastinya masih rindu kampung halaman kadang membuat saya terpikir untuk pulang kampung. Ingat, mudik dan pulang kampung adalah dua hal yang berbeda makna. Namun, keputusan untuk hijrah adalah yang terbaik untuk kami karena kami perlu mengeksplor lebih jauh sejauh mana kami bisa survive di tanah rantau.

Suami saya sendiri lahir dan besar di Bontang Kalimantan Timur karena Papa dan Mama mertua merantau dan membangun karir di sana, padahal mereka berdarah asli Surabaya. Jadi semangat untuk hijrah dan mengejar karir dengan merantau memang sudah jadi wacana suami.

Beruntungnya saya karena sesampainya di Batam saya cepat membangun support system yang adalah Ibu – Ibu dari teman anak saya, baik itu teman sekolah atau teman main. Disitulah, semua terasa lebih mudah. 

Di Batam sendiri memang banyak sekali perantau, setidaknya begitu yang saya temui selama sepuluh bulan tinggal di kota Batam ini. Batam sendiri memiliki suku asli yaitu Melayu, meskipun konon pada tahun 1817 telah ditemui juga etnis Cina yang juga telah tinggal di Batam.

Saya dan suami yang berdarah Jawa selama tinggal di Batam ini memilih tinggal di Kecamatan Sekupang Kelurahan Tiban Baru. Memang agak jauh bila harus ke pusat kota, tetapi karena Batam masih minim kemacetan jadi jarak tempuh dari tempat tinggal kami ke kota paling hanya 15-20 menit sudah termasuk berhenti di lampu merah. Eh, tapi kami bepergian dengan motor ya, kalo dengan mobil mungkin akan lebih lama sekitar lima menitan, apalagi kalau plus antri bensin di pom hehe.

Nah, bagaimana rasanya tinggal di Batam setelah sepuluh bulan tanpa mudik? Seru! Entah kenapa kami merasa lebih tenang karena sedikitnya kami menjauh dari hingar bingar kota dan kemacetan parah. Oya, sebelum pindah ke Batam ini kami memang pernah tinggal di Jakarta selama setahun, jadi rasanya kontras sekali.

Kami pun merasa amazed karena di kota ini belum pernah sekalipun melihat orang membayar belanjaan dengan kartu kredit. Padahal selama tinggal di Jakarta promo cash back pembayaran dengan menggunakan kartu kredit bisa ditemui hampir di setiap gerai makan atau retail.

Namun, sebagai anak rantau tentu kami pun rindu mudik ke Bandung dan Surabaya. Orang tua dari suami setelah pensiun langsung mudik ke Surabaya hehe jadi saya memang belum pernah berkunjung ke Bontang.

Selain kangen bertemu dengan orang tua, kami juga rindu berburu kuliner di dua kota itu. Saya rindu sekali makan surabi haneut (baca; serabi hangat) dan mie kocok Bandung. Sementara kalau ke Surabaya saya senangnya makan es krim di Zangrandi dan makan lontong balap atau kupang plus sate kerang. Alamak! Jadi ngiler! Hahaha

Sayangnya, sebagai anak rantau kami harus juga berhemat dan tidak bisa sering mudik. Ditambah lagi dimasa wabah seperti sekarang, penerbangan juga diperketat sehingga kami tidak bisa asal mudik.

Jadi bagaimana cara kami mengobati kangen pada orang tua, adik/ kakak, dan teman?

1.   Memanfaatkan telefon dan aplikasi penyedia layanan video call seperti Whatsapp. Meskipun tidak sama seperti saat bisa bertemu langsung dimana kita bisa saling peluk dan cium tapi video call pun cukup membantu untuk mengobati rindu. Kalau sebelumnya kita bisa ber-video call dengan empat orang sekaligus, kabarnya sejak April 2020 kita sudah bisa menambah personil ber-video call hingga delapan orang lewat aplikasi Whatsapp ini.

2. Berkirim foto.

Berkirim foto bisa mengobati juga kekangenan selain juga bisa meng-capture moment yang tidak bisa disaksikan saat bervideo call. Biasanya kami diam-diam meng-capture kelakuan anak kami yang mengundang tawa dan mengirimkannya pada orang tua. Pastinya ortu akan sangat senang dikirimi foto cucu.

3. Rajin menanyakan kabar orangtua lewat aplikasi chat.

   Jangan sampai tidak ada kabar berhari – hari lho. Usahakan dalam satu hari setidaknya ada dua sampai tiga kali chat dengan orang tua.

 

Begitulah, kekangenan ini harus kami tahan entah sampai, yang pasti kami selalu mendoakan semoga orang tua, keluarga dan teman – teman yang kami tinggal merantau semuanya dalam keadaan baik.

Aamiin Allahuma Aamiin.

Salam.

 

 


You May Also Like

0 comments